Sedikit Menoleh kembali kepada Abraham A.S. (Idul Adha 1443H)


Kisah hidup Abraham/Ibrahim A.S. adalah contoh paling apik dari pencapaian spiritual manusia. Dia benar-bernar menjalani proses seperti judul buku Prof. Jeffry Lang, “Struggling to Surrender” (arti:berjuang untuk berserah). Pencapaian tertinggi spiritualitas dan ketauhidan Abraham ditempuh melalui proses rasional dan dialektika iman yang panjang di masa muda. Abraham menjadi pribadi yang sangat kritis dan analitis. Dia mampu mempertanyakan kebenaran praktik paganisme yang lumrah di lingkungan keluarga dan mayarakatnya. Dia berpikir, berdebat dan mencari hakekat Tuhan sebagaimana dalam persepsi akalnya. Setelah Abraham A.S. berdialektika dengan akalnya, Dia sampai pada kesimpulan bahwa berhala-berhala yang dibuat ayahnya dan pemujaan di Kuil oleh kaumnya adalah ekspresi keimanan yang sesat. Secara logis, tidak mungkin Tuhan diciptakan oleh tangan manusia. Tuhan juga tidak mungkin lemah dan hancur ketika dipukul oleh Abraham di Kuil Sin. Perjalanan dialektika keimanannya juga sempat singgah pada henoteisme, di mana Dia mengamati benda-benda langit, mencari sosok The Supreme Being, sosok yang paling berkuasa di dunia.


Namun kisah Perjuangan masa muda Abraham yang sangat rasionalis itu agaknya berbanding jauh dengan kisah masa tuanya yang penuh keberserahan dan beberapa perbuatan (yang dianggap) irrasional. Bisa dilihat dari kepasrahannya dalam memperoleh keturunan, tindakannya yang meninggalkan anak dan istri ke 2 nya di lembah tandus (ka’bah), meninggikan ka’bah, hingga upaya menyembelih anaknya sendiri. 

Tentu dalam hal ini Abraham tidak lagi mengutamakan akal seperti masa mudanya. Dia telah mencapai tingkatan spiritual yang menyadarkannya bahwa akal tidak mampu menggapai semua hal di alam semesta ini. Dia menyadari bahwa Tuhan menginginkan kita berjuang walaupun pada akhirnya kita hanya dapat berserah.


Kita harus melihat kisah Abraham ini sebagai suatu proses hidup yang harus dicontoh. Bahwa perjalanan kita dalam spiritualitas dan agama harusnya melalui proses rasional dan dialektis. Dalam tingkatan ini, kita seharusnya masih ditahap menggunakan instrumen akal sehat kita dalam beragama, tetap berusaha mencari jalan logis menghadapi setiap pertanyaan dan permasalahan dalam hidup, terus bekerja keras serta menyerahkan bagaimanapun hasilnya kemudian kepada Tuhan. 


Bukan sebaliknya, memulai beragama dengal hal-hal diluar nalar, menggali berbagai hal klenik, makulat, metafisik, apalagi metafakta, seperti kasus yang sedang heboh saat ini.


Di momen hari Raya Idul Adha kali ini, dengan menyembelih hewan kurban, membagikan dagingnya kepada orang-orang kurang mampu, mari kita juga meneladani kisah Abraham A.S.


Selamat Hari Raya Idul Adha 1443 H (09 Juni 2022 M)

Download Materi Belajar JLPT/ Nihongo Nouryoku Shiken (Noken) N4 & N5


JLPT (Japanese-Language Proficiency Test) atau Nihongo Nouryoku Shiken (日本語能力試験) adalah ujian untuk menilai dan menyertifikasi kemahiran bahasa Jepang bagi non-penutur asli bahasa Jepang. Materi ujian mencakup pengetahuan kosakata/kanji, kemampuan membaca, dan kemampuan mendengarkan.  Ujian dilakukan dua kali setahun di Jepang dan negara-negara tertentu (pada hari Minggu pertama bulan Juli dan Desember), dan sekali setahun di seluruh dunia (pada hari Minggu pertama bulan Desember).

Ada lima level ujian yang dapat diikuti, dari level 5 (N5) sebagai yang paling rendah, hingga Level 1 (N1) untuk yang tertinggi.

Di sini saya membagikan bahan/materi JLPT N5 & N4. Karena level ini yang banyak diikuti oleh pembelajar awal bahasa Jepang di Indonesia.
Silakan unduh dan update terus laman blog ini untuk mendapat bahan/materi-materi baru ya.

Pilih dan Klik tautan di bawah untuk mengunduh!


N5


N4

Jilbab NGGAK WAJIB buat perempuan


Jilbab, kerudung, hijab dan berbagai macam nama lain dari benda ini memang sesuatu yang tertulis di dalam teks Al-Quran dan Hadist, bahkan dapat dikatakan saat ini, bahwa Islam yang melegalisasi penggunaannya sehingga banyak kita lihat sehari-hari. Tetapi di sisi lain teks-teks terkait jilbab dan teman-temanya itu dapat diinterpretasikan lain, sehingga penafsirannya juga menjadi sangat beragam.

Tulisan ini tidak akan menambah keramaian debat tentang hijab dalam perspektif Islam. Pertama karena saya bukan ahli di bidang itu, dan kedua karena tulisan-tulisan tentang hukum ber-jilbab/hijab sudah banyak berserakan baik secara luring atau daring. Tinggal meluangkan waktu dan kejernihan pikiran saja untuk mencari dan membacanya.

Dalam tulisan ini, saya hanya berupaya menyegarkan cara pandang universal kita terhadap jilbab, dengan mengajak kita semua menggali secara esensial fenomena jilbab/hijab dalam perspektif budaya masyarakat dan pandangan terhadap perempuan.

Kita mulai dari fakta bahwa perempuan memiliki daya tarik alamiah pada tubuhnya. Tubuh perempuan selalu dinilai dan diamati, lebih sering bukan oleh diri mereka sendiri saja, tetapi juga oleh masyarakat. Hal ini yang memunculkan sekat-sekat dalam norma dan beban sosiologis pada perempuan yang terkait dengan tubuhnya. Sederhananya begini,  ketika laki-laki tampil jelek maka mereka tidak akan mendapatkan beban sosiologis seberat perempuan, dan ketika pun si laki-laki itu tampil luar biasa ganteng, mereka juga tidak akan mendapatkan penghargaan atau perhatian yang berlebihan seperti halnya yang diterima oleh perempuan yang berpenampilan cantik.

Kalau kita lihat cerminannya dalam budaya populer saat ini, akan tampak nyata misalnya dalam film animasi, terdapat kisah Shrek, Beauty and The Beast, dsb., di situ digambarkan secara gamblang bahwa laki-laki itu sangat boleh untuk buruk rupa, dan dia tetap bisa disebutkan sebagai pria sejati. Tetapi hal itu tidak mungkin berlaku bagi perempuan. Selain itu, kita sering mendengar banyak sekali tulisan-tulisan atau perkataan yang menyebut bahwa laki-laki semakin tua semakin tampan, dan itu tidak mungkin berlaku bagi perempuan. Eksploitasi perempuan terkait dengan masalah tubuh ini saya pikir memiliki dasar yang harus menjadi  perhatian.

Ada dua pandangan yang harus diperhatikan, yang pertama adalah bahwa perempuan itu menarik secara seksual terhadap pihak yang lebih kuat dan lebih berkuasa daripada dirinya sendiri. Oleh karenanya, si pihak yang lebih berkuasa bisa saja melakukan kecelakaan dan kekerasan pada si perempuan kalau dia menginginkannya. Yang kedua, tubuh Perempuan itu dianggap sakral karena kehidupan manusia memang berasal dari rahim perempuan. Dengan pandangan ini perempuan akan dilindungi, tetapi perlindungan itu sering kali membuat perempuan dibatasi.

Selanjutnya agar lebih jelas, saya coba mundur ke belakang melihat masa lalu dan membandingkannya. Saya pikir dibandingkan dengan masa lalu tidak ada sistem keamanan yang sebaik hari ini, di mana kejahatan dapat dibuktikan dan diadili relatif lebih mudah. Pada masa lalu, kejahatan misalkan pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, dsb. sebagian itu tidak bisa diproses secara hukum karena tidak ada institusi atau lembaga hukum memadai dan menyeluruh seperti sekarang. Dan lebih gawatnya lagi, perempuan sangat mudah untuk menjadi objek kekerasan dengan motif yang beragam pula.

Untuk mengatasi hal ini, masyarakat masa lalu membuat berbagai kebiasaan berupa perlakuan-perlakuan khusus pada perempuan. Kebiasaan ini berkembang menjadi kultur dan beberapa mitos yang melekat pada perempuan, bahkan hingga saat ini.

Misal orang dahulu biasanya menikahkan anak perempuannya lebih awal, kenapa begitu? Tentu agar anak perempuannya mendapatkan perlindungan dari suaminya, dan ini pula menjadikan adanya tradisi menambahkan nama suami pada perempuan. Hal ini masih menjadi budaya yang kita rasakan di Indonesia, karenanya kita sering dengar panggilan-panggilan “Ibu Ruswan”, “Ibu Handoko” dll. bukan si ibu namanya Ruswan atau Handoko, tapi itu nama suaminya kan. Nah kenapa bisa seperti itu? ya penjelasannya sederhana, karena di masa lampau perempuan sangat rentan terhadap kekerasan maka mereka harus melabeli namanya dengan nama suaminya.

Kemudian mitos diciptakan dalam kisah-kisah horor yang dihubungkan dengan perempuan untuk melindungi dari kejahatan-kejahatan yang tidak mungkin bisa diatasi oleh hukum tertulis. Seperti kisah kuntilanak dan sundel bolong yang sangat familier di telinga kita. Sosok-sosok hantu ini menjadikan ketika ada perempuan jalan sendirian malam hari, laki-laki akan berpikir dua kali untuk berbuat jahat, karena bisa jadi itu adalah hantu. Kalaupun itu adalah perempuan asli (nyata), lalu kemudian diperkosa dan mati, akan ada anggapan dia akan menuntut balas dengan mencari siapa yang pernah memperkosa dan membunuhnya. Jadi saya pikir cerita-cerita horor di masa lalu yang dikait-kaitkan dengan perempuan biasanya adalah untuk melindungi perempuan itu sendiri.
(Jadi bisa ni kita pikirkan dari sekarang untuk menjadikan Kuntilanak sebagai tokoh feminis  di Indonesia... 😊 )

Lanjut lagi, cara masyarakat untuk bisa melindungi perempuan adalah dengan memingit perempuan yang belum menikah. Perempuan dikurung di dalam rumahnya agar tidak terjadi masalah ketika keluar rumah. Kalaupun mau keluar, tidak boleh sendiri, boleh dengan keluarganya atau dengan perempuan lain. Ya misalnya keluar bareng buat nyuci di sungai, yang di beberapa tempat masih kita lihat sekarang.

Cara lain melindungi perempuan juga dilakukan dengan mengurangi daya tarik erotis alami yang dimiliki perempuan. Saya melihat ada kesadaran konvensional  masyarakat di seluruh kebudayaan dunia,  bahwa rambut perempuan yang terurai adalah bagian tubuh yang memiliki daya tarik erotis. Oleh karena itu, masyarakat zaman dahulu mengurangi pesan-pesan seksual yang secara alamiah ada pada perempuan dengan melakukan berbagai treatment untuk menghalangi laki-laki melihat langsung rambut perempuan yang terurai. Dari sini kita bisa melihat banyak kebudayaan melakukannya, misalnya kebudayaan Jawa dengan konde-nya, kebudayaan Jepang dengan Nihongami-nya, kebudayaan korea dengan Jjokjin Meori-nya, dan banyak lainnya. Semuanya biasa dilakukan dengan mengikat, mengepang, menyanggul dan memberikan aksesoris di bagian rambut perempuan. Bahkan bentuk rambut menjadi identitas sosial perempuan. Para perempuan terhormat (bangsawan) umumnya dalam kebudayaan-kebudayaan masyarakat lampau tidak mengurai rambutnya, dan perempuan yang rambutnya terurai memiliki kesan tidak baik. Bahkan di Jepang jika perempuan rambutnya terurai dianggap sama halnya seperti telanjang.

Jilbab/Hijab juga merupakan salah satu produk kebudayaan masyarakat dengan ide dasar yang sama, yaitu untuk mengurangi daya tarik seksual perempuan. Saya tidak spesifik menyatakan masyarakat mana karena faktanya tradisi menutup rambut dengan kain semacam jilbab/hijab ada di berbagai kebudayaan, tidak hanya ada pada masyarakat Arab. Masyarakat Yunani dan Eropa dahulu juga menutup rambutnya dengan kain sebagai tanda kehormatan dan kesucian.

Jadi ketika berbicara tentang jilbab/hijab maka sudah seharusnya kita tidak harus berpikir soal budaya Islam atau tradisi Arab. Ya memang nama hijab, jilbab atau niqab dan lain sebagainya itu memang berasal dari sana, tetapi itu hanya sebatas istilah. Secara keseluruhan, upaya manusia (atau upaya masyarakat) untuk menurunkan daya sensualitas perempuan memang sudah dilakukan sejak awal dengan pertimbangan-pertimbangan yang dijelaskan di atas.

Selain itu, Jilbab, hijab atau kerudung itu adalah salah satu cara yang portable, paling praktis dan paling anggun untuk bisa melindungi perempuan. Hal ini karena secara konsep, jilbab/hijab mengisi perannya seperti halnya berbagai kebudayaan yang ada, sama halnya dengan rumah pingit, dan treatment serta hiasan rambut. Satu hal yang paling penting untuk digaris bawahi, bahwa jilbab/hijab adalah bukan berawal dari Islam. Walaupun kemudian Islamlah yang mungkin melakukan legalisasi terhadapnya kini. 

KAROSHI (過労死) : Most Causes of Death in Japan

       
         Not only is Japan known for its high suicide rate, but it is also known for its high karoshi death rate (died from overwork). Today, We'll go over Karoshi (過労死) in depth, from its definition to its causes and symptoms.

Sumber: https://www.zangyou.jp/basic/img/img_death_overwork01.jpg

Karoshi is a condition in which someone dies as a result of working too hard, and it usually affects people who work excessive overtime. When a person is too tired to work, a variety of diseases can develop. Headaches (dizziness), abnormal heartbeats, ruptured blood vessels in the brain (stroke), and sudden death are examples of these diseases. Karoshi sufferers will experience mental disorders in addition to the diseases listed above, and the majority of them will die by suicide. The term "Karoshi" can be found in English dictionaries, and it is used in a variety of countries.
 
Symptoms of Karoshi
        Karoshi's final stage is sudden death. Headache (dizziness) and nausea are the first signs of Karoshi. At this point, the Karoshi sufferer's body has signaled that it can no longer work hard, but the Karoshi sufferer usually ignores this signal, and the Karoshi sufferer dies suddenly in the majority of cases.
 
The symptoms of Karoshi are as follows:
 
1. Abnormal Heartbeat
       The body of a Karoshi sufferer gets tired easily, the heartbeat becomes irregular, and sometimes the chest also feels tight.
 2. Blood Vessels of the Brain Ruptured
        Frequent headaches (dizziness), reduced hearing ability, frequent fatigue, and vertigo.
 3. Mental Disorders & Suicide
         Too tired to work can cause mental disorders. Karoshi sufferers usually have mental disorders, and when it gets too severe, they usually commit suicide.
4. Accidents Due to Lack of Sleep
        Sleep deprivation is common among Karoshi patients. So tired are Karoshi sufferers that they often fall asleep behind the wheel, resulting in traffic accidents. Sufferers of Karoshi are frequently discovered drowning in their bath tubs after falling asleep while bathing in hot water.
Karoshi is a situation in which the body is damaged by being too tired to work without being cared for, similar to how a car is damaged by overuse without being maintained.
  
Why do Japanese people work so hard all of the time?
        Many overseas people question why Japanese people choose to work harder than change professions. Usually people who die because of Karoshi have a sense of responsibility that is too high and do not want to bother others, so they tend to keep their problems and workloads to themselves until they eventually experience mental disorders. Usually they would kill themselves, and this would be incomprehensible to ordinary people who didn't suffer from Karoshi.
 
Work System Revolution in Japan
        We frequently see news about Karoshi in various forms of media, and this has become one of Japan's most serious problems. The Japanese government enacted a slew of laws aimed at reducing Karoshi, and businesses in Japan began to forbid their employees from working overtime.
Japan has gotten better at dealing with Karoshi in recent years. The Japanese government enacts laws that limit overtime hours, and most Japanese companies advise their employees to work only the hours specified. Some businesses even forbid their employees from working overtime.
Keep in mind that while craftsmanship and a strong sense of responsibility are both beneficial, too much of either will result in a subpar product, such as Karoshi. Make sure you always take care of your body and mind while working to avoid Karoshi! 

LOGIKA FAKIR MISKIN




Beberapa waktu lalu media dihebohkan dengan salah satu berita penangkapan seorang Aktris bersuamikan pengusaha konglomerat yang diketahui menyalahgunakan narkoba. Alasannya sederhana, tekanan pekerjaan akibat pandemi.

Ruang media sosial sekejap dipenuhi berbagai macam komentar netizen yang mempertanyakan mengapa hal tersebut bisa terjadi, mengapa orang dengan kekayaan ratusan milyar bisa merasa tertekan hidupnya. Saya pun beberapa saat tenggelam menjadi bagian netizen mempertanyakan hal yang sama (walau hanya dalam hati).
Namun untuk menyelamatkan diri dari ketenggelaman ini, seperti biasanya saya atasi dengan jurus “menanyakan mengapa saya/mereka bertanya.”

Pertanyaan kita tentang mengapa orang kaya tidak bahagia atau terancam kebahagiaannya sebenarnya berasal dari apa yang saya sebut dengan “Logika Fakir Miskin” yang kita miliki. Kita terjebak dalam persepsi bahwa kaya sama dengan bahagia (KAYA = BAHAGIA), jumlah harta yang kita miliki berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan, hal ini lah yang jelas-jelas tidak tepat.

Persepsi tidak tepat ini muncul karena kita menyamakan keadaan kita (yang fakir ini) dengan si konglomerat. Tentu kita berpikir dengan kekayaan ratusan juta harusnya dalam keadaan pandemi yang mengimpit ini pun mereka tetap bisa bahagia hidup enak. Katakanlah mungkin berbagai sektor bisnis mereka terancam, seperti resort dan hotel-hotel mewah. Tapi resort dan hotel-hotel itukan  aset yang sangat mahal, kenapa tidak dijual saja? Toh hasil penjualannya bisa mencapai ratusan milyar dan bisa digunakan membangun bisnis di sektor-sektor lain. Andainya pun mereka tidak mau lagi kerja, uang ratusan milyar tetaplah jumlah yang banyak, sehari belanja 2 Juta Rupiah saja dalam 50 tahun hanya  menghabiskan 36.5 Milyar.

Semua pikiran ini harus dibuang jauh-jauh karena satu jawaban “kita bukan orang kaya raya seperti mereka.” Jika kita ada pada posisi mereka akan berbeda cerita. 
Saya akan memulianya dengan pertanyaan lain, “apakah uang dapat mengubah karakter dan kebiasaan seseorang?” Jika kita yang fakir ini tiba-tiba menerima uang miliaran rupiah, logika fakir miskin tadi memang kemungkinan bisa berjalan sementara waktu. Kita akan bahagia hanya dengan 2 juta per hari, namun bagi mereka yang sudah sejak lama merasakan hidup dengan berkelimpahan harta, hal ini tentu tidak mudah. 2 juta per hari bukan lagi hal yang luar biasa. Mungkin hanya sebatas biaya isi bensin mobil satu hari. Pengeluaran akan meningkat seiring banyaknya jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin banyak kita punya maka konsekuensinya semakin besar tanggung jawab terhadap apa yang kita punya. Misalnya kita punya motor, kita harus bertanggungjawab mengisi bensin, servis, membayar pajak dsb. Jika kita men-upgrade menjadi mobil maka biaya bensin, servis, membayar pajak dsb. juga akan bertambah, begitu seterusnya.

Jadi kalau kembali kepada pertanyaan sebelumnya “apakah uang dapat mengubah karakter dan kebiasaan seseorang?” jawabannya ya 'mungkin' atau 'bisa jadi,' apa yang menjadikan ini mungkin? Yang menjadikannya mungkin adalah cara berpikir “uang atau kekayaan berkorelasi dengan kebahagiaan.” Sayangnya ini lah cara berpikir yang tanpa sadar dipilih oleh kebanyakan orang, dan jadi alasan utama lahirnya “Logika Fakir Miskin” tadi.

Padahal seharusnya kekayaan tidak harus dikorelasikan dengan kebahagiaan. Kebahagiaan sangat erat berkaitan dengan proses dan usaha, bukan tujuan dan hasil. Misal ketika kita main game dengan sistem level, dan jika kita diberi kesempatan bermain dari awal dengan level tertinggi, maka kita akan bosan karena selalu menang, tidak perlu bersusah payah untuk meningkatkan level lagi. Hal ini karena keindahan bermain game ada pada proses dan usaha kita dari awal bersusah payah untuk menaikkan level. Contoh lain ketika bermain sepak bola, bukan mencetak gol yang menjadikan kita bahagia, tapi usaha menggiring bola dengan berbagai hadangan dari lawan lah yang menjadikan kita bahagia dan menikmati permainan. Kalau mencetak gol itu kebahagiaan, kenapa tidak ke lapangan bola tengah malam sendiri, dan menendang bola sebanyak-banyaknya ke gawang?.

Lalu harus dikorelasikan dengan apakah kekayaan? Jawaban terbaik untuk ini hanya satu, yaitu kekayaan harus dikorelasikan dengan “kemanfaatan pada orang lain.” Semakin kita kaya harusnya semakin besar kuasa dan peran kita untuk menolong orang lain. Dengan cara berpikir ini uang tidak lagi jadi objek yang dituju, namun hanya menjadi alat yang membantu tujuan. Hingga jika satu masa ketikan kita yang dulunya kaya mendapat cobaan menjadi orang yang kekurangan harta, maka kita tidak akan kehilangan kebahagiaan, karena standar kebahagiaan kita tidak lagi untuk tujuan harta dan uang, namun hal yang berkaitan dengan kemanfaatan pada orang lain.

Di sisi lain, perkataan yang bilang “Ga usah kejar harta, toh harta itu ga dibawa mati” terkadang dibumbui dengan kepicikan berbalut religi dari orang yang mengucapkannya. Perkataan ini hanya jadi apologi dari kemalasan atau keputusasaan kita dalam hidup. Putus asa dan kecewa pada diri sendiri menjadikan kita pribadi yang mudah menyalahkan keadaan dan menghujat orang lain. Itulah kita, Mayoritas Netizen di Indonesia.

Dah dulu ah..

Adilkah Tuhan?


Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi
Jika mencoba melihat lebih peka keadaan diri dan lingkungan sosial kita, akan banyak sekali hal yang kita anggap kurang, bahkan tidak memuaskan. Hal-hal terkait dengan kemakmuran, kesejahteraan, kualitas hidup, kualitas spiritual dan lain sebagainya yang sering kita lihat di dalamnya banyak terjadi kesenjangan. Dalam hal demikian negeri ini tidak mungkin kehabisan contoh. Kita dapat melihat di satu tempat di negeri ini ada sekelompok orang yang sangat kaya, namun di tempat lain juga terdapat sekelompok orang yang sangat miskin. Banyak orang cerdas dengan gelar akademis yang menawan, tapi tak sedikit juga orang yang buta aksara. Ada banyak orang alim yang taat pada agama, tapi banyak juga orang tak peduli dengan Tuhannya. Semua ini terkadang menimbulkan pertanyaan dalam diri kita, "kenapa ya jalan hidup dan nasib orang berbeda-beda?. Kok rasanya Tuhan tidak adil ya? Ada yang hidupnya susah, tapi kok yang lain bahagia? Ada yang urusannya mudah, yang lain kok urusannya susah? Ada yang mudah menerima hidayah, yang lain kok susah? Dan banyak lagi. Intinya bertanya tentang di mana letak keadilan Tuhan. 

Hal seperti ini jika terus berkecamuk di pikiran, dapat menyeret kita pada "ke-galau-an spiritual". Karena kalau terus-menerus dibiarkan tanpa adanya jawaban yang memuaskan, bisa-bisa berujung pada sikap apatis, pesimisme dan fatalisme (terlalu pasrah dan mudah menyerah). 

Sebenarnya keadilan Tuhan tidak semua bisa diungkap dengan kata dan realitas empiris (sesuatu yang dapat diakses oleh indera). Tapi keadilan Tuhan bisa saja berupa satu realitas metafisis (sesuatu yang berada di luar jangkauan indera manusia) yang sengaja tidak diungkap dan disimpan-Nya. Oleh karena hal tersebut disimpan, Tuhan menjadi adil. 

Semisal ada seseorang yang hidupnya susah. Walau sudah bekerja keras, namun Tuhan belum juga mengubah nasibnya. Segala jalan telah ditempuh, namun tidak ada perubahan. Apakah Tuhan tidak adil? Karena banyak orang lain yang kadang hanya duduk-duduk di hotel dan restoran mewah bisa mendapatkan kontrak besar yang bisa kaya dengan mudah. 

Tentu Tuhan tetap adil. Ada rahasia yang hanya Dia yang tahu hikmahnya. Kalau coba mereka-reka, bisa saja hikmah itu ditafsirkan. Misalnya, andaikata dia diberi kemudahan dan dinaikkan derajatnya menjadi orang kaya, jangan-jangan orang ini bisa menjadi sombong atau lebih parah menjadi kufur. Bisa saja kekayaannya menyebabkan dia lupa pada Tuhan. Dengan kekayaannya justru dia berpotensi menjadi hamba durhaka yang tidak mau melaksanakan perintah Tuhan. Malah sebaliknya, kekayaannya dipergunakan untuk berbuat maksiat dan membuat kejahatan. 

Lihatlah, ada banyak orang kaya yang justru tidak bahagia. Hidup di rumah mewah, namun hatinya kosong. Setiap hari hidupnya susah dan gelisah. 
Sebaliknya, ada orang yang hidupnya sederhana atau relatif susah, tapi bahagia. Dia punya waktu banyak untuk beribadah. Ibadah membuat dia tenang dan lebih bahagia. Kedekatannya dengan sang maha pencipta membuat hidup terasa indah dan bermakna. 

Keadilan Tuhan tidak selalu harus dipertanyakan. Yakinlah Tuhan punya rencana di balik semua peristiwa yang terjadi pada hamba-Nya. Yakinlah bahwa Tuhan selalu mengasihi dan cinta pada seluruh hamba-Nya. Setiap makhluk di dunia, bahkan hewan dan tumbuhan pun tidak pernah luput dari anugerah dan kasih sayang-Nya. 

Kita tidak perlu bersedih tentang kegagalan, kesulitan dan pengalaman pahit yang pernah kita alami. Justru kita harus terus bangkit. Karena Man kana yaumuhu khairan min amsihi fahuwa rabihun.. (barang siapa yang hari ini lebih baik dari pada kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung..). Jalanilah hari dengan hal-hal yang bermanfaat baik untuk diri sendiri, keluarga, teman dan bahkan bagi semua orang. 

Wallahua'lam.


Terhanyut dalam Drakor

Beberapa waktu belakangan ini saya cukup sering melihat drama korea (DRAKOR). Sebenarnya bukan hanya baru-baru ini saja saya coba menonton film atau drama korea, beberapa tahun lalu saat drakor masih tayang di TV, saya sering terpaksa mengikuti drama korea karena remot TV di rumah saat itu dibajak total oleh kakak saya yang (dulu) hobi menonton drakor di TV.


Sumber Gambar: http://sinemapedia.com/inilah-kumpulan-meme-lucu-drama-korea-dari-beragam-genre-442-1

Fenomena drakor dengan pecintanya yang menjamur di Indonesia cukup menarik. Umumnya para pecinta drakor adalah wanita (cewe-cwe) dengan kadar militansi yang berbeda-beda. Ada pecinta garis wajar yang paling cuma senyam-senyum sendiri waktu nonton, ada juga pecinta garis keras yang histeris teriak-teriak waktu nonton. …LOL…

Jadi tulisan ini akan berisi ulasan subjektif saya sebagai penikmat drakor, dan uraian mini berkaitan dengan fenomena drakor yang sangat digandrungi di kalangan pecintanya di Indonesia. Poin-poin apa yang saya pikir menjadi titik unggul drakor dibandingkan dengan sinetron Indonesia. Harapanya kita dapat menilai lebih objektif fenomena para pecinta drakor. Tidak dengan justifikasi sepihak dengan mengatakan ‘alay’ atau ‘lebay’ tanpa ada upaya untuk secara objektif memahami bagaimana drakor itu sendiri.  

Dari beberapa judul drama yang saya tonton belakangan ini, digabungkan dengan pengalaman menonton drama-drama korea lainnya beberapa tahun lalu, untuk genre romance saya pikir ada pola yang selalu sama di dalamnya.
Jalan cerita pada drakor biasanya berfokus pada cerita tentang dua orang, laki-laki dan perempuan (belum pernah tahu drakor yang bercerita tentang pasangan sesame jenis haha) --mulai dari sini si laki-laki kita sebut si A, dan perempuan si B—

Prologue dimulai dengan si A dan B yang bertemu pada suatu momen tertentu atau keduanya sudah lama mengenal namun belum memiliki perasaan khusus. Lalu bersamaan dengan sebuah insiden, antara A dan B akan timbul benih-benih suka dan cinta, namun A atau B punya kendala dalam memahami isi hatinya, ragu-ragu, dan bingung untuk memastikan ataupun meneguhkan perasaan cintanya.

Biasanya proses hingga salah satu diantara si A dan B memantapkan diri dan perasaan satu sama lain untuk saling berhubungan, terjadi berkisar antara episode 4 sampai dengan 6. Khas drama korea, hal ini ditandai dengan keduanya saling berciuman atau berpelukan.

Selanjutnya akan datang karakter utama yang baru –kita sebut si C— yang kebanyakan datang dari masa lalu A atau B. Si C datang sebagai ujian cinta bagi A dan B. Si A atau B akan bertengkar, lalu di antara keduanya hampir-hampir akan tergoda pada C. Beberapa drakor bahkan menambahkan karakter D yang fungsinya hampir sama dengan si C. Tindakan C dan D biasanya juga punya keterkaitan hubungan ataupun dukungan dari pihak kerabat/keluarga A dan B.

Namun akhirnya semua ujian cinta akan berhasill dihadapi. Si C atau D akan dengan rela melepas A dan B untuk terus bersama. Tahap ini akan mulai terlihat di episode 10 untuk drakor dengan total episode belasan atau episode 26 pada drakor dengan total episode lebih dari 30. Dan akhirnya…. happy ending. Dari penilaian Ending cerita, drakor genre romance relatif lebih mudah ditebak, beda dengan drama Jepang yang kadang unpredictable. (tapi disini kita tidak jauh membandingkan dengan drama Jepang ya)

Pola-pola seperti ini akan muncul pada setiap genre romance drakor. Namun yang membedakannya adalah tema dan latar (setting) cerita. Misalnya tema kehidupan para dokter dengan latar lingkungan rumah sakit, tema pegawai perusahaan dengan latar kehidupan kantor dan sebagainya. Latar dan tema yang berbeda-beda ini akan menimbulkan problematika yang berbeda-beda pula. Ini lah yang seakan menjadi MSG (bumbu penyedap) dalam drakor.

Hal yang saya pikir jadi nilai plus untuk drakor adalah detil-detil latar yang sangat edukatif. Para penonton drakor akan diperkenalkan, atau bahkan seolah-olah dibawa masuk ke dalam latar cerita, misalnya dalam tema kehidupan polisi, penonton benar-benar akan melihat seluk beluk kehidupan seorang polisi dengan detil-detil profesi tersebut. Detil tersebut ditunjukkan melalui visual dan verbal tiap karakter. Gambaran kantor, penjara, senjata dll akan terlihat sangat natural dan nyata. Istilah-istilah  khusus dalam dunia kepolisian juga diucapkan secara jelas dengan tanggung jawab referensi yang sesuai. Cotoh lain misalnya dalam tema kedokteran, penonton akan dibawa mengenal kehidupan para dokter dan lingkungan rumah sakit. Suka duka menjadi dokter, istilah-istilah penyakit, alat-alat kedokteran dan sebagainya. Semua disampaikan secara jelas dan bertanggung jawab. Oleh karena itu penonton dicerdaskan dengan pengetahuan-pengetahuan baru. Ini yang saya maksud mengedukasi.

Berbeda jauh dengan sinetron Indonseia. Sinetron hanya focus pada prilaku karakter, terlihat dari dialog yang berlebih, serta detil latar yang tidak jelas. Dalam sinetron setiap karakter seolah kompak punya hobi yang sama, yaitu berdiri  berlama-lama dan berbicara saling tatap-tatapan. Beberapa sinetron kadang punya latar cerita di sebuah perusahaan, tapi tidak jelas perusahaannya apa, bergerak dibidang apa, bagaimana si karakter menjalani pekerjaannya, semua tidak dijelaskan detil. Tahu-tahu derektur bisa jatuh cinta begitu saja dengan karyawan, tahu-tahu perusahaannya bangkrut dan karakternya jatuh miskin tanpa kita ketahui alasan logis dan jelas mengenai bagaimana perusahaannya bisa bangkrut.

Selanjutnya dalam drakor Karakter antagonis (C & D) tidak statis dan konsisten sebagai karakter berwatak jahat, begitu pun dengan karakter protagonist yang tidak selalu berlaku baik. Hal ini menjadikan karakter-karakter dalam drakor terlihat lebih manusiawi. Berbeda dengan sinetron yang dalam ceritanya seolah-oleh membagi karakternya menjadi dua, malaikat dan iblis. Malaikat terus jadi malaikat dengan prilaku super sabar dan ikhlas ketika ditindas, serta iblis terus menjadi iblis dengan prilaku super menyebalkan dan jahatnya.
(Hahhh… pokoknya kalau membahas keganjilan sinetron Indonesia bisa habis puluhan halaman.. baiknya dibuat tulisan (postingan) khusus untuk ini. )

Lebih lanjut mengenai drakor, faktor ketampanan karakter pria yang ditampilkan akan membuat kita memaklumi para wanita (cewe-cewe) yang betah dan setia menonton tiap episodenya. (Meski tipikal mukanya seragam semua LOL)


So, intinya saya pikir drakor masih layak untuk ditonton. Apalagi jika pilihannya antara sinetron dan drakor, maka saya lebih sarankan kita menonton drakor. Alasan utamanya sederhana ‘Drakor lebih mendidik daripada sinetron.’ Namun sebaik apapun drakor dan seburuk apapun sinetron, kita harus sadari bahwa keduanya hanyalah kisah rekaan (fiksi). Kisah rekaan ini merupakan interpretasi harapan masyarakatnya. Harapan tentu berlawanan dengan kenyataan. Kita ketahui Amerika dikenal dengan film superhero-nya, ini karena masyarakatnya memiliki harapan akan adanya ‘superhero’ yang bisa memberi perlindungan pada mereka setiap saat ditengah tingginya angka kriminalitas di Amerika. Kalau kita melihat drakor menggambarkan hubungan yang sangat manis dan romantis yang membuat kita berbunga-bunga menontonnya, dapat kita asumsikan itu adalah harapan masyarakatnya dalam kehidupan nyata. Artinya dalam kehidupan nyata masyarakat Korea, percintaan tidak terjadi seindah apa yang kita lihat pada Drakor.


Teruusss, Indonesia dengan sinetronnya mengharapkan apa?????? Hayoooo …