LOGIKA FAKIR MISKIN

Juli 17, 2021 @bdul 1 Comments




Beberapa waktu lalu media dihebohkan dengan salah satu berita penangkapan seorang Aktris bersuamikan pengusaha konglomerat yang diketahui menyalahgunakan narkoba. Alasannya sederhana, tekanan pekerjaan akibat pandemi.

Ruang media sosial sekejap dipenuhi berbagai macam komentar netizen yang mempertanyakan mengapa hal tersebut bisa terjadi, mengapa orang dengan kekayaan ratusan milyar bisa merasa tertekan hidupnya. Saya pun beberapa saat tenggelam menjadi bagian netizen mempertanyakan hal yang sama (walau hanya dalam hati).
Namun untuk menyelamatkan diri dari ketenggelaman ini, seperti biasanya saya atasi dengan jurus “menanyakan mengapa saya/mereka bertanya.”

Pertanyaan kita tentang mengapa orang kaya tidak bahagia atau terancam kebahagiaannya sebenarnya berasal dari apa yang saya sebut dengan “Logika Fakir Miskin” yang kita miliki. Kita terjebak dalam persepsi bahwa kaya sama dengan bahagia (KAYA = BAHAGIA), jumlah harta yang kita miliki berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan, hal ini lah yang jelas-jelas tidak tepat.

Persepsi tidak tepat ini muncul karena kita menyamakan keadaan kita (yang fakir ini) dengan si konglomerat. Tentu kita berpikir dengan kekayaan ratusan juta harusnya dalam keadaan pandemi yang mengimpit ini pun mereka tetap bisa bahagia hidup enak. Katakanlah mungkin berbagai sektor bisnis mereka terancam, seperti resort dan hotel-hotel mewah. Tapi resort dan hotel-hotel itukan  aset yang sangat mahal, kenapa tidak dijual saja? Toh hasil penjualannya bisa mencapai ratusan milyar dan bisa digunakan membangun bisnis di sektor-sektor lain. Andainya pun mereka tidak mau lagi kerja, uang ratusan milyar tetaplah jumlah yang banyak, sehari belanja 2 Juta Rupiah saja dalam 50 tahun hanya  menghabiskan 36.5 Milyar.

Semua pikiran ini harus dibuang jauh-jauh karena satu jawaban “kita bukan orang kaya raya seperti mereka.” Jika kita ada pada posisi mereka akan berbeda cerita. 
Saya akan memulianya dengan pertanyaan lain, “apakah uang dapat mengubah karakter dan kebiasaan seseorang?” Jika kita yang fakir ini tiba-tiba menerima uang miliaran rupiah, logika fakir miskin tadi memang kemungkinan bisa berjalan sementara waktu. Kita akan bahagia hanya dengan 2 juta per hari, namun bagi mereka yang sudah sejak lama merasakan hidup dengan berkelimpahan harta, hal ini tentu tidak mudah. 2 juta per hari bukan lagi hal yang luar biasa. Mungkin hanya sebatas biaya isi bensin mobil satu hari. Pengeluaran akan meningkat seiring banyaknya jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin banyak kita punya maka konsekuensinya semakin besar tanggung jawab terhadap apa yang kita punya. Misalnya kita punya motor, kita harus bertanggungjawab mengisi bensin, servis, membayar pajak dsb. Jika kita men-upgrade menjadi mobil maka biaya bensin, servis, membayar pajak dsb. juga akan bertambah, begitu seterusnya.

Jadi kalau kembali kepada pertanyaan sebelumnya “apakah uang dapat mengubah karakter dan kebiasaan seseorang?” jawabannya ya 'mungkin' atau 'bisa jadi,' apa yang menjadikan ini mungkin? Yang menjadikannya mungkin adalah cara berpikir “uang atau kekayaan berkorelasi dengan kebahagiaan.” Sayangnya ini lah cara berpikir yang tanpa sadar dipilih oleh kebanyakan orang, dan jadi alasan utama lahirnya “Logika Fakir Miskin” tadi.

Padahal seharusnya kekayaan tidak harus dikorelasikan dengan kebahagiaan. Kebahagiaan sangat erat berkaitan dengan proses dan usaha, bukan tujuan dan hasil. Misal ketika kita main game dengan sistem level, dan jika kita diberi kesempatan bermain dari awal dengan level tertinggi, maka kita akan bosan karena selalu menang, tidak perlu bersusah payah untuk meningkatkan level lagi. Hal ini karena keindahan bermain game ada pada proses dan usaha kita dari awal bersusah payah untuk menaikkan level. Contoh lain ketika bermain sepak bola, bukan mencetak gol yang menjadikan kita bahagia, tapi usaha menggiring bola dengan berbagai hadangan dari lawan lah yang menjadikan kita bahagia dan menikmati permainan. Kalau mencetak gol itu kebahagiaan, kenapa tidak ke lapangan bola tengah malam sendiri, dan menendang bola sebanyak-banyaknya ke gawang?.

Lalu harus dikorelasikan dengan apakah kekayaan? Jawaban terbaik untuk ini hanya satu, yaitu kekayaan harus dikorelasikan dengan “kemanfaatan pada orang lain.” Semakin kita kaya harusnya semakin besar kuasa dan peran kita untuk menolong orang lain. Dengan cara berpikir ini uang tidak lagi jadi objek yang dituju, namun hanya menjadi alat yang membantu tujuan. Hingga jika satu masa ketikan kita yang dulunya kaya mendapat cobaan menjadi orang yang kekurangan harta, maka kita tidak akan kehilangan kebahagiaan, karena standar kebahagiaan kita tidak lagi untuk tujuan harta dan uang, namun hal yang berkaitan dengan kemanfaatan pada orang lain.

Di sisi lain, perkataan yang bilang “Ga usah kejar harta, toh harta itu ga dibawa mati” terkadang dibumbui dengan kepicikan berbalut religi dari orang yang mengucapkannya. Perkataan ini hanya jadi apologi dari kemalasan atau keputusasaan kita dalam hidup. Putus asa dan kecewa pada diri sendiri menjadikan kita pribadi yang mudah menyalahkan keadaan dan menghujat orang lain. Itulah kita, Mayoritas Netizen di Indonesia.

Dah dulu ah..

You Might Also Like

1 komentar: