Jilbab NGGAK WAJIB buat perempuan

Januari 14, 2022 @bdul 0 Comments


Jilbab, kerudung, hijab dan berbagai macam nama lain dari benda ini memang sesuatu yang tertulis di dalam teks Al-Quran dan Hadist, bahkan dapat dikatakan saat ini, bahwa Islam yang melegalisasi penggunaannya sehingga banyak kita lihat sehari-hari. Tetapi di sisi lain teks-teks terkait jilbab dan teman-temanya itu dapat diinterpretasikan lain, sehingga penafsirannya juga menjadi sangat beragam.

Tulisan ini tidak akan menambah keramaian debat tentang hijab dalam perspektif Islam. Pertama karena saya bukan ahli di bidang itu, dan kedua karena tulisan-tulisan tentang hukum ber-jilbab/hijab sudah banyak berserakan baik secara luring atau daring. Tinggal meluangkan waktu dan kejernihan pikiran saja untuk mencari dan membacanya.

Dalam tulisan ini, saya hanya berupaya menyegarkan cara pandang universal kita terhadap jilbab, dengan mengajak kita semua menggali secara esensial fenomena jilbab/hijab dalam perspektif budaya masyarakat dan pandangan terhadap perempuan.

Kita mulai dari fakta bahwa perempuan memiliki daya tarik alamiah pada tubuhnya. Tubuh perempuan selalu dinilai dan diamati, lebih sering bukan oleh diri mereka sendiri saja, tetapi juga oleh masyarakat. Hal ini yang memunculkan sekat-sekat dalam norma dan beban sosiologis pada perempuan yang terkait dengan tubuhnya. Sederhananya begini,  ketika laki-laki tampil jelek maka mereka tidak akan mendapatkan beban sosiologis seberat perempuan, dan ketika pun si laki-laki itu tampil luar biasa ganteng, mereka juga tidak akan mendapatkan penghargaan atau perhatian yang berlebihan seperti halnya yang diterima oleh perempuan yang berpenampilan cantik.

Kalau kita lihat cerminannya dalam budaya populer saat ini, akan tampak nyata misalnya dalam film animasi, terdapat kisah Shrek, Beauty and The Beast, dsb., di situ digambarkan secara gamblang bahwa laki-laki itu sangat boleh untuk buruk rupa, dan dia tetap bisa disebutkan sebagai pria sejati. Tetapi hal itu tidak mungkin berlaku bagi perempuan. Selain itu, kita sering mendengar banyak sekali tulisan-tulisan atau perkataan yang menyebut bahwa laki-laki semakin tua semakin tampan, dan itu tidak mungkin berlaku bagi perempuan. Eksploitasi perempuan terkait dengan masalah tubuh ini saya pikir memiliki dasar yang harus menjadi  perhatian.

Ada dua pandangan yang harus diperhatikan, yang pertama adalah bahwa perempuan itu menarik secara seksual terhadap pihak yang lebih kuat dan lebih berkuasa daripada dirinya sendiri. Oleh karenanya, si pihak yang lebih berkuasa bisa saja melakukan kecelakaan dan kekerasan pada si perempuan kalau dia menginginkannya. Yang kedua, tubuh Perempuan itu dianggap sakral karena kehidupan manusia memang berasal dari rahim perempuan. Dengan pandangan ini perempuan akan dilindungi, tetapi perlindungan itu sering kali membuat perempuan dibatasi.

Selanjutnya agar lebih jelas, saya coba mundur ke belakang melihat masa lalu dan membandingkannya. Saya pikir dibandingkan dengan masa lalu tidak ada sistem keamanan yang sebaik hari ini, di mana kejahatan dapat dibuktikan dan diadili relatif lebih mudah. Pada masa lalu, kejahatan misalkan pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, dsb. sebagian itu tidak bisa diproses secara hukum karena tidak ada institusi atau lembaga hukum memadai dan menyeluruh seperti sekarang. Dan lebih gawatnya lagi, perempuan sangat mudah untuk menjadi objek kekerasan dengan motif yang beragam pula.

Untuk mengatasi hal ini, masyarakat masa lalu membuat berbagai kebiasaan berupa perlakuan-perlakuan khusus pada perempuan. Kebiasaan ini berkembang menjadi kultur dan beberapa mitos yang melekat pada perempuan, bahkan hingga saat ini.

Misal orang dahulu biasanya menikahkan anak perempuannya lebih awal, kenapa begitu? Tentu agar anak perempuannya mendapatkan perlindungan dari suaminya, dan ini pula menjadikan adanya tradisi menambahkan nama suami pada perempuan. Hal ini masih menjadi budaya yang kita rasakan di Indonesia, karenanya kita sering dengar panggilan-panggilan “Ibu Ruswan”, “Ibu Handoko” dll. bukan si ibu namanya Ruswan atau Handoko, tapi itu nama suaminya kan. Nah kenapa bisa seperti itu? ya penjelasannya sederhana, karena di masa lampau perempuan sangat rentan terhadap kekerasan maka mereka harus melabeli namanya dengan nama suaminya.

Kemudian mitos diciptakan dalam kisah-kisah horor yang dihubungkan dengan perempuan untuk melindungi dari kejahatan-kejahatan yang tidak mungkin bisa diatasi oleh hukum tertulis. Seperti kisah kuntilanak dan sundel bolong yang sangat familier di telinga kita. Sosok-sosok hantu ini menjadikan ketika ada perempuan jalan sendirian malam hari, laki-laki akan berpikir dua kali untuk berbuat jahat, karena bisa jadi itu adalah hantu. Kalaupun itu adalah perempuan asli (nyata), lalu kemudian diperkosa dan mati, akan ada anggapan dia akan menuntut balas dengan mencari siapa yang pernah memperkosa dan membunuhnya. Jadi saya pikir cerita-cerita horor di masa lalu yang dikait-kaitkan dengan perempuan biasanya adalah untuk melindungi perempuan itu sendiri.
(Jadi bisa ni kita pikirkan dari sekarang untuk menjadikan Kuntilanak sebagai tokoh feminis  di Indonesia... 😊 )

Lanjut lagi, cara masyarakat untuk bisa melindungi perempuan adalah dengan memingit perempuan yang belum menikah. Perempuan dikurung di dalam rumahnya agar tidak terjadi masalah ketika keluar rumah. Kalaupun mau keluar, tidak boleh sendiri, boleh dengan keluarganya atau dengan perempuan lain. Ya misalnya keluar bareng buat nyuci di sungai, yang di beberapa tempat masih kita lihat sekarang.

Cara lain melindungi perempuan juga dilakukan dengan mengurangi daya tarik erotis alami yang dimiliki perempuan. Saya melihat ada kesadaran konvensional  masyarakat di seluruh kebudayaan dunia,  bahwa rambut perempuan yang terurai adalah bagian tubuh yang memiliki daya tarik erotis. Oleh karena itu, masyarakat zaman dahulu mengurangi pesan-pesan seksual yang secara alamiah ada pada perempuan dengan melakukan berbagai treatment untuk menghalangi laki-laki melihat langsung rambut perempuan yang terurai. Dari sini kita bisa melihat banyak kebudayaan melakukannya, misalnya kebudayaan Jawa dengan konde-nya, kebudayaan Jepang dengan Nihongami-nya, kebudayaan korea dengan Jjokjin Meori-nya, dan banyak lainnya. Semuanya biasa dilakukan dengan mengikat, mengepang, menyanggul dan memberikan aksesoris di bagian rambut perempuan. Bahkan bentuk rambut menjadi identitas sosial perempuan. Para perempuan terhormat (bangsawan) umumnya dalam kebudayaan-kebudayaan masyarakat lampau tidak mengurai rambutnya, dan perempuan yang rambutnya terurai memiliki kesan tidak baik. Bahkan di Jepang jika perempuan rambutnya terurai dianggap sama halnya seperti telanjang.

Jilbab/Hijab juga merupakan salah satu produk kebudayaan masyarakat dengan ide dasar yang sama, yaitu untuk mengurangi daya tarik seksual perempuan. Saya tidak spesifik menyatakan masyarakat mana karena faktanya tradisi menutup rambut dengan kain semacam jilbab/hijab ada di berbagai kebudayaan, tidak hanya ada pada masyarakat Arab. Masyarakat Yunani dan Eropa dahulu juga menutup rambutnya dengan kain sebagai tanda kehormatan dan kesucian.

Jadi ketika berbicara tentang jilbab/hijab maka sudah seharusnya kita tidak harus berpikir soal budaya Islam atau tradisi Arab. Ya memang nama hijab, jilbab atau niqab dan lain sebagainya itu memang berasal dari sana, tetapi itu hanya sebatas istilah. Secara keseluruhan, upaya manusia (atau upaya masyarakat) untuk menurunkan daya sensualitas perempuan memang sudah dilakukan sejak awal dengan pertimbangan-pertimbangan yang dijelaskan di atas.

Selain itu, Jilbab, hijab atau kerudung itu adalah salah satu cara yang portable, paling praktis dan paling anggun untuk bisa melindungi perempuan. Hal ini karena secara konsep, jilbab/hijab mengisi perannya seperti halnya berbagai kebudayaan yang ada, sama halnya dengan rumah pingit, dan treatment serta hiasan rambut. Satu hal yang paling penting untuk digaris bawahi, bahwa jilbab/hijab adalah bukan berawal dari Islam. Walaupun kemudian Islamlah yang mungkin melakukan legalisasi terhadapnya kini. 

You Might Also Like

0 komentar: