Jilbab, kerudung, hijab dan berbagai macam nama
lain dari benda ini memang sesuatu yang tertulis di dalam teks Al-Quran dan Hadist,
bahkan dapat dikatakan saat ini, bahwa Islam yang melegalisasi penggunaannya
sehingga banyak kita lihat sehari-hari. Tetapi di sisi lain teks-teks terkait
jilbab dan teman-temanya itu dapat diinterpretasikan lain, sehingga penafsirannya
juga menjadi sangat beragam.
Tulisan ini tidak akan menambah keramaian debat
tentang hijab dalam perspektif Islam. Pertama karena saya bukan ahli di bidang itu, dan kedua karena tulisan-tulisan tentang hukum ber-jilbab/hijab sudah banyak berserakan
baik secara luring atau daring. Tinggal meluangkan waktu dan kejernihan pikiran saja untuk mencari dan membacanya.
Dalam tulisan ini, saya hanya berupaya menyegarkan
cara pandang universal kita terhadap jilbab, dengan mengajak kita semua menggali
secara esensial fenomena jilbab/hijab dalam perspektif budaya masyarakat dan pandangan terhadap perempuan.
Kita mulai dari fakta bahwa perempuan memiliki
daya tarik alamiah pada tubuhnya. Tubuh perempuan selalu dinilai dan diamati,
lebih sering bukan oleh diri mereka sendiri saja, tetapi juga oleh masyarakat. Hal
ini yang memunculkan sekat-sekat dalam norma dan beban sosiologis pada perempuan
yang terkait dengan tubuhnya. Sederhananya begini, ketika laki-laki tampil jelek maka mereka
tidak akan mendapatkan beban sosiologis seberat perempuan, dan ketika pun si
laki-laki itu tampil luar biasa ganteng, mereka juga tidak akan mendapatkan
penghargaan atau perhatian yang berlebihan seperti halnya yang diterima oleh perempuan
yang berpenampilan cantik.
Kalau kita lihat cerminannya dalam budaya populer
saat ini, akan tampak nyata misalnya dalam film animasi, terdapat kisah Shrek, Beauty
and The Beast, dsb., di situ digambarkan secara gamblang bahwa laki-laki itu
sangat boleh untuk buruk rupa, dan dia tetap bisa disebutkan sebagai pria
sejati. Tetapi hal itu tidak mungkin berlaku bagi perempuan. Selain itu, kita
sering mendengar banyak sekali tulisan-tulisan atau perkataan yang menyebut bahwa
laki-laki semakin tua semakin tampan, dan itu tidak mungkin berlaku bagi perempuan.
Eksploitasi perempuan terkait dengan masalah tubuh ini saya pikir memiliki
dasar yang harus menjadi perhatian.
Ada dua pandangan yang harus diperhatikan, yang
pertama adalah bahwa perempuan itu menarik secara seksual terhadap pihak
yang lebih kuat dan lebih berkuasa daripada dirinya sendiri. Oleh karenanya, si
pihak yang lebih berkuasa bisa saja melakukan kecelakaan dan kekerasan pada si
perempuan kalau dia menginginkannya. Yang kedua, tubuh Perempuan itu
dianggap sakral karena kehidupan manusia memang berasal dari rahim perempuan.
Dengan pandangan ini perempuan akan dilindungi, tetapi perlindungan itu sering kali membuat perempuan dibatasi.
Selanjutnya agar lebih jelas, saya coba mundur ke
belakang melihat masa lalu dan membandingkannya. Saya pikir dibandingkan dengan
masa lalu tidak ada sistem keamanan yang sebaik hari ini, di mana kejahatan
dapat dibuktikan dan diadili relatif lebih mudah. Pada masa lalu, kejahatan misalkan
pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, dsb. sebagian itu tidak bisa
diproses secara hukum karena tidak ada institusi atau lembaga hukum memadai dan
menyeluruh seperti sekarang. Dan lebih gawatnya lagi, perempuan sangat mudah
untuk menjadi objek kekerasan dengan motif yang beragam pula.
Untuk mengatasi hal ini, masyarakat masa lalu membuat
berbagai kebiasaan berupa perlakuan-perlakuan khusus pada perempuan. Kebiasaan ini
berkembang menjadi kultur dan beberapa mitos yang melekat pada perempuan, bahkan
hingga saat ini.
Misal orang dahulu biasanya menikahkan anak
perempuannya lebih awal, kenapa begitu? Tentu agar anak perempuannya
mendapatkan perlindungan dari suaminya, dan ini pula menjadikan adanya tradisi menambahkan
nama suami pada perempuan. Hal ini masih menjadi budaya yang kita rasakan di Indonesia, karenanya kita sering dengar panggilan-panggilan “Ibu Ruswan”, “Ibu Handoko” dll. bukan
si ibu namanya Ruswan atau Handoko, tapi itu nama suaminya kan. Nah kenapa bisa
seperti itu? ya penjelasannya sederhana, karena di masa lampau perempuan
sangat rentan terhadap kekerasan maka mereka harus melabeli namanya dengan nama
suaminya.
Kemudian mitos diciptakan dalam kisah-kisah horor yang dihubungkan dengan perempuan untuk melindungi dari kejahatan-kejahatan yang tidak mungkin bisa diatasi oleh hukum tertulis. Seperti
kisah kuntilanak dan sundel bolong yang sangat familier di telinga kita. Sosok-sosok
hantu ini menjadikan ketika ada perempuan jalan sendirian malam hari, laki-laki
akan berpikir dua kali untuk berbuat jahat, karena bisa jadi itu adalah hantu. Kalaupun
itu adalah perempuan asli (nyata), lalu kemudian diperkosa dan mati, akan ada
anggapan dia akan menuntut balas dengan mencari siapa yang pernah memperkosa
dan membunuhnya. Jadi saya pikir cerita-cerita horor di masa lalu yang dikait-kaitkan
dengan perempuan biasanya adalah untuk melindungi perempuan itu sendiri.
(Jadi bisa ni kita pikirkan dari sekarang untuk
menjadikan Kuntilanak sebagai tokoh feminis di Indonesia... 😊 )
Lanjut lagi, cara masyarakat untuk bisa melindungi
perempuan adalah dengan memingit perempuan yang belum menikah. Perempuan
dikurung di dalam rumahnya agar tidak terjadi masalah ketika keluar rumah. Kalaupun
mau keluar, tidak boleh sendiri, boleh dengan keluarganya atau dengan perempuan
lain. Ya misalnya keluar bareng buat nyuci di sungai, yang di beberapa tempat masih
kita lihat sekarang.
Cara lain melindungi perempuan juga dilakukan
dengan mengurangi daya tarik erotis alami yang dimiliki perempuan. Saya melihat
ada kesadaran konvensional masyarakat di seluruh kebudayaan dunia, bahwa rambut perempuan
yang terurai adalah bagian tubuh yang memiliki daya tarik erotis. Oleh karena
itu, masyarakat zaman dahulu mengurangi pesan-pesan seksual yang secara alamiah
ada pada perempuan dengan melakukan berbagai treatment untuk menghalangi
laki-laki melihat langsung rambut perempuan yang terurai. Dari sini kita bisa
melihat banyak kebudayaan melakukannya, misalnya kebudayaan Jawa dengan konde-nya,
kebudayaan Jepang dengan Nihongami-nya,
kebudayaan korea dengan Jjokjin Meori-nya, dan banyak
lainnya. Semuanya biasa dilakukan dengan mengikat, mengepang, menyanggul dan
memberikan aksesoris di bagian rambut perempuan. Bahkan bentuk rambut menjadi
identitas sosial perempuan. Para perempuan terhormat (bangsawan) umumnya dalam
kebudayaan-kebudayaan masyarakat lampau tidak mengurai rambutnya, dan perempuan
yang rambutnya terurai memiliki kesan tidak baik. Bahkan di Jepang jika perempuan
rambutnya terurai dianggap sama halnya seperti telanjang.
Jilbab/Hijab juga merupakan salah satu produk kebudayaan masyarakat
dengan ide dasar yang sama, yaitu untuk mengurangi daya tarik seksual perempuan.
Saya tidak spesifik menyatakan masyarakat mana karena faktanya tradisi menutup
rambut dengan kain semacam jilbab/hijab ada di berbagai kebudayaan, tidak hanya
ada pada masyarakat Arab. Masyarakat Yunani dan Eropa dahulu juga menutup rambutnya
dengan kain sebagai tanda kehormatan dan kesucian.
Jadi ketika berbicara tentang jilbab/hijab maka
sudah seharusnya kita tidak harus berpikir soal budaya Islam atau tradisi Arab.
Ya memang nama hijab, jilbab atau niqab dan lain sebagainya itu memang berasal dari
sana, tetapi itu hanya sebatas istilah. Secara keseluruhan, upaya manusia (atau
upaya masyarakat) untuk menurunkan daya sensualitas perempuan memang sudah
dilakukan sejak awal dengan pertimbangan-pertimbangan yang dijelaskan di atas.
Selain itu, Jilbab, hijab atau kerudung itu adalah
salah satu cara yang portable, paling praktis dan paling anggun untuk
bisa melindungi perempuan. Hal ini karena secara konsep, jilbab/hijab mengisi perannya seperti
halnya berbagai kebudayaan yang ada, sama halnya dengan rumah pingit, dan treatment
serta hiasan rambut. Satu hal yang paling penting untuk digaris bawahi, bahwa
jilbab/hijab adalah bukan berawal dari Islam. Walaupun kemudian Islamlah yang
mungkin melakukan legalisasi terhadapnya kini.