• Kisah hidup Abraham/Ibrahim A.S. adalah contoh paling apik dari pencapaian spiritual manusia.
  • Jilbab, kerudung, hijab dan berbagai macam nama lain dari benda ini memang sesuatu yang tertulis di dalam teks Al-Quran dan Hadist, bahkan dapat dikatakan saat ini, bahwa Islam yang melegalisasi penggunaannya sehingga banyak kita lihat sehari-hari.
  • Beberapa waktu lalu media dihebohkan dengan salah satu berita penangkapan seorang Aktris bersuamikan pengusaha konglomerat yang diketahui menyalahgunakan narkoba. Alasannya sederhana, tekanan pekerjaan akibat pandemi.
  • Fenomena drakor dengan pecintanya yang menjamur di Indonesia cukup menarik. Umumnya para pecinta drakor adalah wanita (cewe-cwe) dengan kadar militansi yang berbeda-beda.
  • Download Materi Belajar JLPT/ Nihongo Nouryoku Shiken (Noken) N4- N5

Sabtu, 15 November 2014

Ber-Tuhan tapi tidak be-ragama??

Sumber Gambar:http://www.quotesvalley.com/quotes/god/page/293/

Dalam tulisan sebelumnya saya mencoba membawa kita semua pada persepsi bahwa tidak ada manusia yang tak ber-Tuhan. Ber-Tuhan adalah konsekuensi bagi kita yang hidup. Dan bagaimana perwujudan Tuhan dalam kehidupan, semua itu diserahkan kepada diri kita masing-masing.
            Kemudian dari sini akan timbul pertanyaan, bagaimana kaitannya dengan agama? Apa kaitan Tuhan dengan Agama? Bagaimana jika menyatakan diri bertuhan namun menolak Agama?
Kita akan mulai dengan yang paling dasar tentang agama. Yaitu istilah dan  pengertiannya. Istilah agama berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti ‘tradisi’. Dalam bahasa inggris agama disebut ‘religion’ yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan beragama, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Agama adalah ajaran, sistem yg mengatur tata kepercayaan dan peribadatan kpd Tuhan serta tata kaidah yg berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.



Kalau coba kita analogikan, jika bulan adalah Tuhan, maka serangkaian pelatihan dan aturan untuk menaiki pesawat ruang angkasa untuk ke bulan adalah ‘agama’.  Singkatnya, agama harus berisi tentang cara dan jalan yang membawa kita kepada Tuhan atau paling tidak lebih dekat dan mengenal Tuhan. Nah, bagaimana jika anda ingin ke bulan dan merasa siap pergi ke bulan namun prosedurnya dipersulit dengan berbagai hal yang tidak mencerminkan tujuan utama. Yaitu menuju bulan. Misalnya ketika anda ingin ke bulan anda malah diperintahkan belajar bernyanyi secara merdu setiap minggu. Tentu tidak ada hubungannya kan? Inilah analogi tentang fenomena keagamaan yang terjadi pada umat beragama sekarang. Segolongan manusia menyadari hal ini dan mulai merasa ada yang salah dengan agama dan berkembang pada pemikiran ‘tidak penting beragama’.



Percaya Tuhan dan tidak percaya dengan agama adalah pemikiran yang mulai banyak dianut masyarakat dunia lebih khusus pada para intelektual2 di barat dewasa ini. Mereka  lebih meyakini Tuhan dengan memilih jalan spiritualitas ketimbang agama. Ini  didasari pada kesadaran bahwa setiap manusia memiliki dimensi spiritualitas dalam dirinya. Dimensi spiritualitas yang pada dasarnya merupakan sebuah perjalanan dan pengembaraan ke dalam diri manusia sendiri, pengembaraan dalam upanya mengenal dimensi batin diri. Dimensi dimana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tak mampu menjangkaunya. Pada dimensi ini mereka akan merasa menemukan Tuhan.
Disisi lain persepsi masyarakat barat terhadap agama sekarang ini banyak dicemari oleh pengalaman kelam sejarah, dimana orang-orang yang mengaku pembesar agama menampilkan agamanya dengan mitos-mitos dan takhayul yang mengekang kebebasan berfikir dan ilmu pengetahuan. Agama dijadikan alat politik untuk memperoleh kekuasaan yang lalim. Agama yang pernah hadir dalam sosok seperti ini menjadi penyebab pemikir seperti August Comte secara radikal berkesimpulan bahwa dalam masyarakat saintifik agama tak lagi memiliki porsi yang diperhitungkan, bahkan dianggap sebagai sisa-sisa keterbelakangan dari masa lampau.
Sampai sekarang pun  degradasi Agama seperti ini masih tetap berlangsung. kebanyakan Agama sekarang terkesan hanya akan mengajak kita untuk terlibat dalam aturan-aturan yang rumit, perdebatan dan permusuhan dengan sesama. Dalam kasus lain agama hanya membawa kita pada gerakan ideologi terutup yang ekslusif. Sifat eksklusifitas agama ini cenderung membawa pada sifat tidak toleran dan Persaingan yang nantinya akan menjadi sumber derita bukan kedamaian, keselamatan dan kasih sayang. Beginilah beberapa anggapan orang yang berfikir agama tak lagi penting.
Seebagai contoh, Jika kita coba nyatakan kepada mereka misalnya, Islam adalah agama damai, dan mengapa tidak mencoba mendalaminya ?” mereka akan menjawab , “ maaf, yang kami kenal tentang umat islam adalah masyarakat yang tidak mencerminkan hidup damai. Secara fisik  mereka sangat senang bentrok dan secara intelektual sering mengesankan tidak toleran. Oleh karena itu kami kurang tertarik dengan agama, tetapi kami tetap merindukan Tuhan.”
            Dari sini coba Saya simpulkan bahwa percaya kepada Tuhan tanpa agama adalah suatu hal yang tidak dapat kita justifikasi sebagai suatu kesalahan. Tapi lebih kepada balasan atas ketidakmampuan orang yang mengaku beragama untuk menampilkan bahwa agama adalah jalan terbaik untuk mengatasi problematika dunia dan rahmat bagi semesta alam.
Saya hingga saat ini meyakini semua agama, baik agama wahyu ataupun bukan, semua pada akhirnya akan berdiri dihadapan sejarah untuk diuji. Sejarah akan menunjukkan hasil seleksinya, bahwa sebagian agama ternyata telah ditinggalkan  orang dan sebagian bertahan dengan modifikasi dan sebagian terus hidup tegak dan banyak pengikutnya. Kelak Kita hanya akan menjadi saksi untuk diri kita sendiri dan semua jalan yang kita pilih. BerTuhan namun Tidak beragama adalah pilihan yang juga harus kita hargai dan maklumi. Kemudian sebaliknya kita yang mengaku bertuhan dan beragama harusnya menampilkan jalan keberagaman yang baik, santun dan berperan aktif dalam kemaslahatan manusia dan lingkungan.
rahmatalill ‘alamin.*

Lagi-lagi Tuhan

-Abdul Ghafur-

Sumber Gambar : http://www.slideshare.net/mayanknaugaien/god-imagination-or-reality-v10-feb09


“aku tidak percaya tuhan...” jika ada yang berkata begini aku selalu terpancing untuk bertanya. “lantas apa yang kamu percaya di dunia ini?” dan apapun jawabanya aku pasti sudah mempersiapkan diriku untuk tersenyum dihadapan orang itu.
            Pernyataan ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam sejarah kehidupan manusia. Nietzschen misalnya, seabad yang lalu ia berani mengatakan dengan tegas “gott is tot” (tuhan sudah mati) istilah ini menjadi populer dan masih didebatkan hingga sekarang.
Pernyataan Nietzschen ini sebenarnya dapat dipahami sebagai pengumuman akan kematian kehidupan spiritualnya beserta teman-teman yang senasib dengannya. Ini dikarenakan warisan agama yang mereka pahami tentang tuhan bukanlah hal yang mampu mendekatkan mereka pada keagungan, kedamaian, keindahan Ilahiah, melainkan suatu bentuk dongeng-dongeng, takhayul dan mitos yang tampak sebagai penghalang dalam kebebasan dan kreasi berfikir serta otonomi manusia.
            Sekarang kembali kepada pertanyaan “apa itu Tuhan?” kalau kita coba definisinkan secara umum, Tuhan adalah dzat yang maha ada yang menciptakan dan mengatur segala sesuatu yang ada dialam semesta. Pengertian ini lebih bersifat eksistensi. Namun jika lebih menyelam untuk pengertian yang lebih esensi, maka dari pengertian diatas juga terkandung bahwa Tuhan adalah segala sesuatu yang manusia persepsikan memiliki kekuatan dan kuasa yang melebihi  manusia sendiri.
Dari persepsi tersebut akan muncul sebuah keyakinan. Keyakinan akan bermetamorfosa menjadi keimanan ketika didalamnya tercakup kecintaan, ketakutan dan pengharapan.
Sehingga singkatnya, Tuhan adalah apa yang paling kita cintai, paling kita takuti dan paling kita berharap padanya. Dan ketiga hal ini sangat tidak mungkin tidak dimiliki oleh manusia di dunia. Ketiga hal ini bisa terpatri pada barang-barang dunia, seperti harta kekayaan, istri, anak, orang tua, akal, pemikiran bahkan diri sendiri. Semua bisa saja menjadi berhala-berhala yang dituhankan.  Seorang jendral yang mengaku atheis pun, ketika akan melepaskan pasukannya ke medan pertempuran ia akan mengatakan “SEMOGA kita menang!!!” mungkin jarang diperhatikan, namun kemana dan kepada siapa kata ‘Semoga’ yang bermuatan pengharapan itu ditujukan?
Bagi saya penyataan sikap tidak berTuhan merupakan wujud dari sifat egosentris yang meradang. Ego yang membutakan seseorang dari luasnya semesta kebenaran. Ego yang tanpa mereka sadari memperjelas sikap penuhanan mereka terhadap kebodohohan. kebodohan karena sikap tidak acuh dan lari dari bukti-bukti yang jelas dan nyata. Mereka adalah orang-orang yang terjebak dalam kajian-kajian tanpa penghayatan.
Karena itu, hingga saat ini saya berpendapat tidak ada manusia yang tak berTuhan..
Namun pertanyaan yang lebih penting dari ini semua adalah “kepada apa kita berTuhan???”

Binjai, 14 Agustus 2014
Ditulis untuk menjawab pertanyaan Ikhsan