Antara Iman dan Sains. Jalan Berliku Menuju Titik Tengah yang (mungkin) Tak Pernah Ada
Pikiran saya kali ini melayang ke pertanyaan yang lebih luas, “Bagaimana mungkin saya bisa tetap percaya pada teks-teks suci yang
mengatakan langit adalah "atap yang terpelihara", sementara teleskop
James Webb menunjukkan galaksi-galaksi yang lahir dan mati miliaran tahun lalu?
Atau, mengapa dalam kajian arkeologi, manusia purba sudah berburu dengan tombak
300.000 tahun lalu, sementara kitab suci menyebutkan manusia pertama setinggi pohon kelapa dan hanya hidup beberapa ribu taun silam?
Ini bukan sekadar masalah "cocokologi" dalam seni
memaksakan tafsir kitab suci agar sesuai dengan temuan sains. Ini saya pikir tentang
kegelisahan eksistensial yang menghantui setiap saintis yang beriman.
Saya membayangkan jika jadi seorang arkeolog Muslim yang menggali fosil Homo erectus. Di satu sisi, kita tahu manusia sudah ada ratusan ribu tahun sebelum narasi agama tentang "Adam A.S." Di sisi lain, Kita juga percaya bahwa kitab suci adalah kebenaran mutlak. Maka, mulailah pencarian tafsir, "Oh…Mungkin Adam bukan manusia pertama, melainkan manusia pertama yang diberi wahyu?" atau, "Mungkin 'tahun' dalam kitab suci bukan tahun harfiah?" Tapi bukankah ini seperti menggerakkan gawang setiap kali bola hampir masuk?
Lebih pelik lagi di bidang neurosains misalnya. Kajian
menunjukkan bahwa stimulasi elektrik pada lobus temporal otak bisa memicu
pengalaman mistis, seperti perasaan "bertemu Tuhan," melihat cahaya
surgawi, bahkan mendengar suara malaikat. Jika wahyu bisa dijelaskan sebagai
aktivitas saraf, apakah itu berarti Nabi-Nabi hanya mengalami halusinasi?
Ataukah justru Tuhan memakai mekanisme otak untuk berkomunikasi? Di sini, sains dan iman seperti dua orang
yang berbicara dalam bahasa berbeda, tapi sama-sama ngotot bahwa hanya
dialeknyalah yang benar.
Lalu, bagaimana jika suatu hari kloning manusia sempurna terwujud? Jika memori otak dapat di-copy-paste hingga kesadaran bisa dipindahkan ke tubuh baru, apakah "ruh" dalam konsep agama ikut pindah? Ataukah kita harus menerima bahwa "nyawa" hanyalah ilusi biokimia?
Belum lagi kecerdasan buatan yang semakin mirip manusia.
Jika suatu hari mesin bisa berdoa, apakah kita akan menganggapnya sebagai
makhluk beriman? Ataukah agama akan mengutuknya sebagai "palsu dan bidah"?
Saya melihat sains sentiasa bergerak pelan, penuh keraguan,
dan siap mengoreksi diri. Namun Iman? Ia seringkali defensif, jika temuan sains
cocok, ia dijadikan bukti kebenaran agama; jika tidak, maka perkataan seperti
"manusia itu punya limitasi sementara Tuhan tak berbatas (unilimitedness),
jadi kita belum paham" akan muncul.
Tapi bukankah ini membuat agama selalu reaktif, bukan proaktif?
Seolah-olah kebenaran ilmiah harus menunggu validasi dari teks suci, bukan
sebaliknya.
Lalu, Bagaimana Menjadi Saintis yang Beriman Tanpa
Kehilangan Akal?
Mungkin jawabannya ada pada kerendahan hati. Sains tidak akan pernah menjawab “mengapa kita ada,” tapi agama juga tidak bisa mengklaim monopoli kebenaran tentang teknis "bagaimana alam bekerja."
Seperti Al-Biruni, yang menghitung keliling bumi karena
ingin shalat menghadap kiblat dengan tepat, saya tidak memungkiri bahwa banyak
penemuan dalam sains yang diinspirasi dari teks-teks Agama, mungkin titik
tengahnya adalah mengakui bahwa keduanya, sains dan iman adalah dua lensa
berbeda untuk melihat realitas yang sama. Di titik ini saya jadi merasa relate
dengan konsepsi sekulerisme yang ditawarkan beberapa intelektual Muslim modern.
Tapi di ujung semua ini, saya akan sedikit nakal melontar
pertanyaan: